Selasa, 28 Agustus 2012
To manurung ri Tamalaté
TOMANURUNG
Di dalam lontara, tidak disebutkan To manurung ri Tamalaté sebagai seseorang yang ’turun dari langit’. Disebut sebagai to manurung oleh karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, dan siapa ayah bundanya. Dalam bahasa lontara dinyatakan: ”nanikanamo to manurung ka taéna niassénngi kabattuanna”, maka disebutlah to manurung karena tidak diketahui dari mana asal kedatangannya. Ketika wilayah-wilayah yang dipimpin para gallarang di Gowa terus menerus berselisih, bahkan berperang satu dengan yang lain, dan ketika tiada aturan hukum yang ditaati oleh para gallarang dan rakyatnya, dan ketika berlaku hukum rimba ’yang kuat menelan yang lemah’ maka to manurung ditemukan pada suatu bukit di Tamalaté. Ia ditemukan setelah terjadinya peristiwa alam yang dahsyat. Dalam lontarak diceritakan bahwa orang-orang melihat ada cahaya terang yang bersinar dari suatu bukit. Ketika para gallarang bersama paccallaya disertai penduduk mendekati bukit tersebut, ternyata di bukit itu dilihat seorang putri, dari mana cahaya itu bersumber. Paccalaya dengan sigap berseru: ”Sombai karaénnu tu Gowa”, ’sembahlah rajamu, wahai orang Gowa’. Putri itulah yang disebut to manurung yang dirajakan di Gowa.
Meskipun dalam lontarak tidak disebutkan bahwa to manurung berasal dari langit, tetapi secara lisan turun temurun diceritakan bahwa to manurung berasal dari ’langit’. Riwayat to manurung itupun menjadi suatu mitos, menjadi salah satu unsur dalam sistem kepercayaan orang Gowa, yang sekaligus menjadi unsur penting dalam pemberian legitimasi politik kekuasaan dan kewenangan to manurung dan turunannya untuk menjadi penguasa yang disembah (sombaya) di Gowa. Atas dasar kepercayaan sebagai ’turunan langit’ itu pulalah terbangun suatu sistem pelapisan sosial yang menempatkan to manurung dan turunannya pada lapisan teratas dari piramida pelapisan sosial itu.
Seperti dikemukakan Mattulada, kedatangan to manurung dihajatkan guna mengakhiri konflik yang berkepanjangan, suatu rekayasa dan mitos politik penyelesaian konflik sekaligus membangun suatu dinasti, dengan pimpinan kekuasaan yang ’diciptakan dengan cara luar biasa dan cerdik’ (Mattulada, 1998a). Penyebaran kisah to manurung secara lisan sebagai ‘turunan langit’, pelembagaan benda-benda tertentu sebagai benda sakral yang disebut kalompoang (tanda kebesaran), penentuan berbagai properti simbolik bagi lapisan raja, karaéng dan turunan raja, anak karaéng serta penyelenggaraan berbagai ritus yang disakralkan, menjadi bagian yang sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kepatuhan rakyat kepada to manurung dan turunannya.
Akan tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah kontrak politik yang menyertai mitos itu. Sesungguhnya substansi utama mitos to manurung terletak pada kontrak politik itu. Kontrak politik yang terjadi sekitar abad ke-13 atau kurang lebih 800 tahun yang lalu itu sendiri merupakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa kontrak politik itu terjadi mendahului teori-teori Thomas Hobbes dan Montesque abad ke-18 yang berbicara tentang kontrak sosial. ‘Ciptaan luar biasa dan cerdik’ yang berupa mitos to manurung tersebut memungkinkan substansi utama yang hendak dikemukakan lebih dapat berterima oleh rakyat dan warga kerajaan Gowa. Metode penyampaian yang digunakan dan pemikiran yang terkandung dalam kontrak politik itu tetap merupakan suatu penanda tingkat kemampuan berpikir dan kecerdasan orang Gowa masa itu. Sesuatu peninggalan budaya yang membanggakan.
TOMANURUNG TANAH LUWU
Sebahagian orang kadang mengungkapkan bahwa, To Manurung sering diartikan sebagai turunan dari kayangan dan ditakdirkan untuk memerintah manusia dimuka bumi. Tidak sedikit orang mengungkapkan bahwa To Manurung itu bukanlah manusia sejarah, atau hanya merupakan mitos belaka, akan tetapi penulis lontara dan para petutur di zaman luwu purba di Wotu ketika itu masih terletak disekitar ussu dan bilassa lamoa (kebun dewata) mengungkapkan bahwa raja pertama disebut To Manurung, hal ini disebabkan oleh karena tidak diketahui darimana kedatangannya demikian pula menghilangnya. Jadi sebenarnya oleh masyarakatnya dia dianggap sebagai manusia surgawi atau wija polamoa (berbeda dengan tradisi-tradisi jawa) tetapi diakui sebagai orang yang datang dan mempunyai kepintaran dan keahlian. Seorang To Manurung (orang Asing) kadang diangkat sebagai raja (belum tentu raja pertama) oleh karena beberapa alasan antara lain:
a. Mungkin sebagai daerah bawahan dari suatu kerajaan yang lebih besar.
b. Karena kehebatan dari pribadi sang pendatang.
c. Karena alasan politik untuk mempersatukan wilayah.
Dapat disimpulkan bahwa nama ToManurung adalah sebenarnya gelaran yang diberikan kemudian oleh turunan dan masyarakatmya pada seorang tokoh sejarah dari suatu kerajaan yang kadangkala di mitoskan sebagai turunan dari kayangan. Pada umumnya orang sulawesi utamanya orang Luwu mempunyai silsilah baik tertulis maupun tidak yang dihapalkan secara turun temurun.Biasanya pada pertemuan-pertemuan keluarga atau antar keluarga, unpamanya dalam peristiwa peminangan atau pesta-pesta, ungkapan silsilah saling dicocokan kembali oleh para pengatur masyarakat atau para ahli silsilah. Dengan cara-cara ini kebenaran silsilah dapat dipertahankan. Disamping itu silsilah-silsilah masih terdapat cerita-cerita rakyat yang disebut Sinrilli atau Tolo. Kedua duanya adalah cerita-cerita kepahlawanan dan peperangan yang pernah terjadi. Sinrilli dan Tolo adalah cerita fakta manusiawi yang bebas dari campur tangan tokoh-tokoh kayangan.
TEMPAT TO MANURUNG TANAH LUWU
Dari cerita tentang To Manurung, bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara telah banyak ditulis, baik penulis penulis sejarah dalam negeri naupun luar negeri utama nya Belanda, dan terakhir sastrawan negeri jiran Arenawati yaitu “ Silsilah Kerajaan Bugis dan Melayu” dimana disebutkan, raja raja nusantara dan semenanjung berasal dari Luwu Sulawesi Selatan yaitu keturunan dari La Maddusala (ejaan malayu La Maddusalat) antara lain hampir seluruh kerajaan disemananjung Malaysia dan Nusantara. Sebagaimana umumnya orang mengeketahui bahwa kedatuan Luwu atau kerajaan Luwu memiliki sejarah yang sangat panjang, luas wilayah, sisten pemerintahan,asal muasal darimana berasal pangkal awalnya sang tokoh (To Manurung) masih terjadi perdebatan panjang dan tidak pernah selesai. Nomenklatur “Luwu” atau Luwuq belum ada kesepakatan, tetapi secara pasti oleh orang Wotu tempat muasal sang tokoh menyebut Luwu sebagai Luwo yang berasal dari kata “LU” yang berarti sangat luas hal ini dapat dibuktikan bahwa luas wilayah Luwu purba memang sangat luas, terdampar hampir seluruh daratan sulawesi. Suatu hal yang sulit terbantahkan dan hampir telah menjadi kesepakatan bahwa To Manurung Tanah Luwu adalah Sawerigading. Orang Luwu percaya ia turun kedunia dianggap membawa rahmat bagi keselamatan kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya kadang sangat disayangkan dan sering terjadi silang pendapat utamanya para etnis yang ada di Luwu ada yang terang terangan mengklaim bahwa dirinya atau clennya yang yang pewaris luwu atau wija sawerigading sementara yang lain adalah tidak sehingga kelompoknya yang berhak berbicara tentang Luwu dan kelompok lain tidak utamanya tentang adat istiadat., padahal bila kita mau mengkajinya secara obyektif mereka semua keturunan atau wija asselinna Luwu, tidak ada yang dapat mengklaim kelompoknya yang wija to Luwu asli karena yang membedakannya adalah fase atau waktu saja, hal ini dapat dilihat dari sudut dimana dan kapan Ware (pusat penerintahan kerajaan Luwu berpusat) dalan catatan sejarah dapat memberikan kepada kita gambaran masa dimana Ware Pertama sampai Ware Kelima.,
1. Ware Pertama.
Dimulai pada akhir abad ke IX dan memasuki abad keX masehi sampai pada abad ke XIII, dikenal sebagai fase Luwu purba berlangsung kurang lebih 300 tahun lamanya. Pusat kerajaan (Ware) masih di sekitar Wotu lama sampai runtuhnya kerajaan luwu pertama, Wotu lama sebagian pindah Wotu sekarang, sebagian pindah atau hijrah orang Wotu menyebutmya cerrea (orang bugis menyebutnya cerekang) dan sebagian menetap disekitar lampia. Kota Malili belum dikenal karena nanti disekitar abad ke XIII barulah ada yaitu pada saat datangnya orang bugis diLuwu.Sebagian penduduk masih menetap dan sebagian lagi mengikuti Datu atau Raja Luwu Anakaji.
2. Ware Kedua.
Dimulai pada abad ke XIV masehi ware (pusat penerintahan) berada di Mancapai , dekat Lelewaru diselatan Danau Towuti pada masa pemerintahan Raja Anakaji.
3. Ware Ketiga
Dimulai disekitar abad ke XV Masehi. Ware (pusat kerajaan) berada di Kamanre, ditepi Sungai Noling sekitar 50 km selatan Kota Palopo Rajanya dikenal; sebagai Dewaraja.
4. Ware Keempat
Dimulai pada abad ke XVI Masehi pusat kedatuan Luwu (ware) di pindahkan ke Pao, di Pattimang Malangke dan disini peristiwa besar tercatat yaitu masuknya agama Islam di tanah Luwu.
5. Ware Kelima
Dimulai ketika memasuki abad ke XVII Malangke menjadi surut sehingga Ware berpindah ke Palopo sampai dengan sekarang.
Jika kita menyimak catatan perjalanan ware diatas, maka tidak ada satu kelompokpun yang dapat mengklaim dirinya sebagai peduduk asli Luwu dan berhak menyebut alenami tomatase”na Luwu karena semua suku bangsa berdasarkan adat Luwu adalah penduduk asli Luwu dan berkewajiban mematuhi siapapun yang menjadi Datu ri Luwu. Orang Wotu termasuk Pamona,To padoe (mori) dan Tolaki tidak bisa dipungkiri sebagai penduduk luwu purba abad X, tidak bisa juga mengklaim bahwa dialah penduduk asli Luwu. Walaupun diakui bahwa mereka adalah pewaris Macoa.Orang Palopo dan sekitarnya tidak dapat juga mengklaim bahwa hanya merekalah peduduk asli Luwu walaupun mereka memangku jabatan adat pada masa ware terakhir sampai sekarang, disisilain tidak dapat pula dikesampingkan peran pada masa ware kedua,ketiga dan keempat, semua memiliki peran yang sama, hanya waktulah yang membedakannya.semuanya keturunan para tomanurung
CERITA LAIN TENTANG SEJARAH TOMANURUNG
To Manurung (manusia yang berasal dari langit) dalam riwayat kuno dipercaya sebagai asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan. Dalam sejarahnya, konon ada tiga kali “pendaratan” To Manurung di jazirah Sulawesi.
To Manurung pertama adalah seorang lelaki perkasa bernama Tomboro Langi yang mendarat di puncak Gunung Latimojong. Ia memproklamirkan dirinya sebagai utusan langit untuk memerintah ummat manusia. Tomboro Langi lalu menikah dengan Tande Bilik, seorang dewi yang muncul dari busa air Sungai Sa’dang. Putra sulung mereka Sandaboro memperanakkan La Kipadada yang membangun 3 kerajaan besar yaitu; Rangkong (Toraja), Luwu & Gowa. Setelah itu dunia dilanda kekacauan, maka diturunkanlah To Manurung kedua.
To Manurung kedua yaitu Batara Guru yang kemudian kawin dengan We Nyilitimo dan melahirkan Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng putri dari Masyrik yang melahirkan Sawerigading. Sawerigading mendirikan kerajan Luwu yang dibawahnya terdiri dari kerajaan merdeka & berdaulat seperti Kerajaan Toraja, Bone, Gowa, Ternate, Palu. Fase Sawerigading mengalami kemunduran, sampai tak ada raja lagi yang memerintah di bumi maka diturunkanlah generasi To Manurung ketiga.
To Manurung ketiga terdiri dari beberapa orang dan mendarat di beberapa tempat. To Manurung di Luwu yaitu Sempurusiang yang kawin dengan Pattiajala. To Manurung di Bone bernama Mata SilompoE, kawin dengan To Manurung perempuan dari Toro. To Manurung di Gowa kawin dengan Karaeng Bayo. To Manurung di Bacukiki memepristrikan To Manurung di Lawaramparang.
Anak cucu turunan To Manurung itulah yang kemudian scara turun temurun menjadi Raja yang memerintah dimasing-masing kerajaan yang ada di jazirah Sulawesi.
SIFAT YANG DIMILIKI TOMANURNG
1. To Manurung tidak dikubur apabila ia meninggal, sebab tubuhnya menghilang tinggal pakaian dan kerisnya.
2. To Manurung dapat tiba – tiba berada berada di samping kita tanpa kita rasakan.
3. To Manurung mempunyai nilai – nilai kemanusiaan yang mendalam atau menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan.
4. To Manurung memiliki jiwa seorang pemimpin dan sangat bijaksana, dapat menolong masyarakat dan membimbingnya.
5. To Manurung luas pengetahuannya, soleh, berbakti, dan menyembah Tuhan Tang Maha Esa.
Karena To Manurung memiliki sifat - sifat separti diatas maka masyarakat Sulawesi Selatan keturunan To Manurung Wija Tau Deceng ( keturunan orang baik ) dan untuk mengetahui mereka, di depan nama mereka disebut panggilan PUANG, DATU, KARAENG, MARADIA, ANDI dan lain – lain oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
Kesimpulan :
To Manurung adalah Seorang Raja yang berasal dari kerajaan bonting langiq (Kerajaan Langit) turun ke bumi untuk memegang tahta di bumi. Yah itulah kepercayaan Masyarakat Sulawesi Selatan dan Masyarakat Bugis pada Khususnya. Masyarakat Bugis sendiri mempercayai bahwa ada dua periode Manurung. Yakni Episode pertama episode I La Galigo, turunnya Batara Guru ke bumi menjadi penguasa episode ke dua yakni episode lontaraq diceritakan dalam lontaraq Tujuh Generasi dari To Manurung Pertama semuanya kembali ke Bonti Langiq Dan Boriq Liu. Setelah itu dunia menjadi kacau balau dan turunlah To Manurung Periode kedua di beberapa daerah antara lain. Bone, Soppeng, Gowa, Luwuq, Barru, Wajo, Toraja. Semua To Manurung tersebut turun dengan perlengkapan kerajaannya masing-masing untuk digunakan di bumi seperti kerajaan, payung, senjata, bendera dan lain-lain. Disamping To Manurung ada juga yang disebut sebagai To Tompoq yakni keturunan Dewa yang berasal dari kerajaan Buriq liu (Kerajaan DI Bawah Laut) para To Manurung di sapa dengan dewatae sedangkan To Tompoq disapa dengan Sangngiang To Manurung dan To Tompoq lah yang menjadi cikal bakal Raja-raja di semua kerajaan Sulawesi selatan. Hampir semua Lontaraq menceritakan tentang dewa-dewa dari kedua tempat tersebut yang di yakini sebagai leluhur Raja-Raja si Pemengang Lontaraq.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar